Tentang Melawan Perfeksionisme dan Mencintai Proses
Sudah seminggu ini saya mencoba untuk mulai menulis novel. Dan guess what? Rasanya seperti berperang dengan diri sendiri. Setiap kalimat yang saya ketik seolah berteriak "Ini tidak cukup bagus!" atau "Hapus saja semuanya dan mulai dari awal!"
Perfeksionisme. Musuh terbesar kreativitas. Saya mulai sadar bahwa keinginan untuk membuat sesuatu yang sempurna justru membuat saya tidak menghasilkan apa-apa. Draft pertama memang akan berantakan, dan itu OK. Elizabeth Gilbert dalam "Big Magic" menulis bahwa kreativitas butuh kebebasan untuk bermain, untuk membuat kesalahan.
Jadi mulai hari ini, saya memutuskan untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan. Menulis tanpa filter, tanpa judgement. Karena sometimes, the only way out is through. Dan mungkin di sinilah letak keindahannya - dalam proses, dalam perjuangan, dalam setiap draft yang berantakan namun jujur.
Saya ingat dulu waktu masih kuliah, selalu menunda mengumpulkan tugas karena merasa belum sempurna. Bahkan untuk menulis status di media sosial pun harus diedit berkali-kali. Exhausting? Absolutely. Produktif? Not really. Yang ada malah membuat segala sesuatu tertunda atau bahkan tidak pernah selesai.
Tapi sekarang saya mulai memahami bahwa kesempurnaan itu sebenarnya adalah ilusi. Seperti fatamorgana yang semakin dikejar semakin menjauh. Karya-karya terbaik dalam sejarah pun pasti punya kekurangannya masing-masing. Bahkan Leonardo da Vinci pun tidak pernah merasa Mona Lisa-nya sudah sempurna.
Yang lebih menarik lagi, saya mulai menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan itu sendiri. Ada sesuatu yang lebih manusiawi, lebih relatable dalam karya yang tidak terlalu dipoles. Seperti musik live yang kadang sumbang tapi justru terasa lebih hidup dibanding rekaman studio yang terlalu sempurna.
Minggu ini, saya memutuskan untuk menulis tanpa editing sama sekali. Hanya menuangkan apa yang ada di kepala ke atas kertas. Hasilnya? Berantakan, tentu saja. Banyak plot hole, karakter yang belum tergambar jelas, dan dialog yang masih kaku. Tapi setidaknya ada progres. Ada sesuatu yang bisa diedit nanti, dibentuk perlahan-lahan.
Mungkin inilah yang dimaksud dengan "embracing the mess". Menerima bahwa proses kreatif itu memang berantakan, dan itu bukan masalah. Justru dari kekacauan inilah ide-ide baru bisa muncul, connections yang tidak terduga bisa terbentuk.
Saya juga mulai belajar untuk tidak membandingkan draft pertama saya dengan karya final orang lain. Itu seperti membandingkan sketsa kasar dengan lukisan yang sudah selesai - tentu saja akan selalu kalah. Yang perlu diingat adalah bahwa setiap masterpiece juga dimulai dari coretan-coretan kasar.
Dan mungkin itulah inti dari semua ini: belajar untuk mencintai proses. Bukan hanya hasil akhirnya, tapi juga perjalanannya. Termasuk semua kesalahan, eksperimen yang gagal, dan draft yang berantakan. Karena pada akhirnya, proses inilah yang membentuk kita, yang mengajarkan kita, yang membuat kita tumbuh.
Jadi untuk siapapun yang sedang berjuang dengan perfeksionisme, ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk tidak sempurna. Tidak apa-apa untuk membuat kesalahan. Tidak apa-apa untuk menghasilkan karya yang masih mentah. Yang penting adalah terus berkarya, terus mencoba, terus melangkah maju. Karena sometimes, the most beautiful things come from embracing our imperfections.
Dan untuk novel saya? Well, masih jauh dari sempurna. Tapi setidaknya sekarang ada cerita yang mulai terbentuk, ada karakter-karakter yang mulai hidup. Dan yang lebih penting lagi, ada pelajaran berharga tentang melepaskan kontrol dan membiarkan kreativitas mengalir dengan bebas. Because in the end, it's not about being perfect - it's about being authentic, being brave, and most importantly, being creative.
